Sebuah pesan untuk Sang Jendral.
Saya rasa tidak perlu lagi mengumbar cerita, seluruh dunia juga sudah tau tabiat Anda. Saya hanya ingin menyampaikan sebuah pesan dan sebaris doa.
Untuk Anda, Sang Jendral.
Mulailah belajar untuk berhenti memfitnah orang lain, Pak.
Mulailah belajar untuk diam kalo memang tidak tau apa-apa.
Inget, Bapak juga punya anak perempuan. Apa yang Bapak rasakan kalo anak perempuan Bapak difitnah orang lain?
Seperti ditampar, Pak.
Toh, Bapak juga bukan orang suci. Bapak tidak punya hak untuk memberi label kepada saya ataupun kepada yang lain. Bapak tidak punya hak menilai saya seperti apa.
Karena Bapak tidak mengenal saya. Yang Bapak tau hanya sebagian kecil dari saya.
Yang Bapak tau hanya tanggal 1 setiap bulannya.
Mulailah belajar untuk tidak angkuh, Pak.
Rejeki ada di tangan Tuhan.
Bapak dan keluarga Bapak tidak sepantasnya menyombongkan materi yang Bapak punya. Tidak sepantasnya Bapak memandang rendah orang lain. Ini bukan masalah materi, Pak. Tapi sebuah hubungan mutualisme, akan adanya kebutuhan kami yang bisa keluarga Bapak sediakan.
Kalo mau kasar, mau makan apa keluarga Bapak tanpa kami?
Apa yang Bapak lakukan kalo suatu saat semua materi itu sudah tidak ada? Apalagi yang mau disombongkan?
Saya tidak mengutuk.
Saya belajar untuk tidak mendendam, dan mengikhlaskan apa yang sudah terjadi.
Tapi jangan sampai cuma saya saja yang belajar. Saya harap Bapak juga bisa belajar. Dari kesalahan, dari apa yang terjadi.
Mungkin sebuah peringatan dari Tuhan. Diingatkan bahwa Tuhan masih sayang pada kita.
Saya tidak takut pada Bapak.
Tolong dicatat, dari awal-pun saya tidak pernah takut.
Terlebih saat ini. Kalo saya yang bersalah, saya pasti tidak akan pernah berani menampakkan batang hidung saya di masyarakat.
Apa yang Bapak lakukan, bisa kembali ke Bapak 10 kali lipat. Karena karma does exist.
Terimakasih.
Saya rasa tidak perlu lagi mengumbar cerita, seluruh dunia juga sudah tau tabiat Anda. Saya hanya ingin menyampaikan sebuah pesan dan sebaris doa.
Untuk Anda, Sang Jendral.
Mulailah belajar untuk berhenti memfitnah orang lain, Pak.
Mulailah belajar untuk diam kalo memang tidak tau apa-apa.
Inget, Bapak juga punya anak perempuan. Apa yang Bapak rasakan kalo anak perempuan Bapak difitnah orang lain?
Seperti ditampar, Pak.
Toh, Bapak juga bukan orang suci. Bapak tidak punya hak untuk memberi label kepada saya ataupun kepada yang lain. Bapak tidak punya hak menilai saya seperti apa.
Karena Bapak tidak mengenal saya. Yang Bapak tau hanya sebagian kecil dari saya.
Yang Bapak tau hanya tanggal 1 setiap bulannya.
Mulailah belajar untuk tidak angkuh, Pak.
Rejeki ada di tangan Tuhan.
Bapak dan keluarga Bapak tidak sepantasnya menyombongkan materi yang Bapak punya. Tidak sepantasnya Bapak memandang rendah orang lain. Ini bukan masalah materi, Pak. Tapi sebuah hubungan mutualisme, akan adanya kebutuhan kami yang bisa keluarga Bapak sediakan.
Kalo mau kasar, mau makan apa keluarga Bapak tanpa kami?
Apa yang Bapak lakukan kalo suatu saat semua materi itu sudah tidak ada? Apalagi yang mau disombongkan?
Saya tidak mengutuk.
Saya belajar untuk tidak mendendam, dan mengikhlaskan apa yang sudah terjadi.
Tapi jangan sampai cuma saya saja yang belajar. Saya harap Bapak juga bisa belajar. Dari kesalahan, dari apa yang terjadi.
Mungkin sebuah peringatan dari Tuhan. Diingatkan bahwa Tuhan masih sayang pada kita.
Saya tidak takut pada Bapak.
Tolong dicatat, dari awal-pun saya tidak pernah takut.
Terlebih saat ini. Kalo saya yang bersalah, saya pasti tidak akan pernah berani menampakkan batang hidung saya di masyarakat.
Apa yang Bapak lakukan, bisa kembali ke Bapak 10 kali lipat. Karena karma does exist.
Terimakasih.
pernah mengalami hal yang sama juga kok kak.cuma bedanya subjek yg melakukan bukan si jendral.tapi antek2nya dia, si aa dede itu.
ReplyDeletesangat tidak masuk akal kalo mereka mikir kita yg aneh. gak sadar apa ya kalo kita itu makhluk berpendidikan yg masih tau moral dan etika.